SUN RISE

SUN RISE
beginilah yang saya dapatkan setelah mendaki setinggi 3019 mdpl

Jumat, 11 November 2011

WHO I AM INSIDE??!


(dari gudang folder, sedikit tulisan di awal 2011)


Pertemuan dengan Mbak Riza siang ini bukan pertemuan yang biasa dilakukan oleh 2 manusia yang baru kedua kalinya bertatap muka. Berkenalan, membicarakan kepentingan masing-masing, dan ngobrol. Lebih dari itu. Mbak Riza yang aktif mengisi hari-harinya dengan mengajar ini memiliki background kemampuan psikologi yang cukup matang. 1 dari 24 jam saya hari ini berhasil mencetak poin 9 dari 10 poin yang tersedia, dan saya beri nama: WHO I AM INSIDE??!

WHO
Mungkin tepat bila dihubungkan dengan kata Tanya: WHAT. Apa. Yang saya lakukan siang ini di rumah Mbak Riza adalah membicarakan rekruitmen Encompass ditinjau dari sisi Psikologi. Tujuannya untuk mengetahui karakteristik calon peserta JOU Encompass. Disini saya mewakili teman-teman Organisasi yang bernama Encompass Indonesia untuk berdiskusi langsung dengan orang yang sudah berpengalaman di bidang ilmu ‘Keorangan’. Ke depannya, teman-teman yang lain bisa berdiskusi dengan Mbak Riza sendiri –eyes to eyes- (dijamin! ‘ni orang keren abees dalam menyampaikan informasi! Bukan promosi lho!)
I AM
Setelah tujuan pokok tercapai, kini mencoba meraih tujuan sekunder…=). Mencoba Test Kepribadian. Saya diminta untuk menggambar manusia. Yang ke dua, saya diminta untuk menggambar rumah, manusia, dan pohon. Hasilnya (yang saya ingat):
  • Hidup Lurus. Orang tua sudah mengatur. Sosok ayah dan ibu sangat kuat. Tidak pernah terbebani dengan masalah keluarga yang pelik. Intinya, hidup saya LURUS!
  • Dekat dengan ibu. Childish.
  • Perfeksionis. Obesesif.  Idealis. Gak PD. “Menutupi kekurangan dengan kelebihan dan menuntut orang lain”
Dan sejak awal perbincangan kami, Mbak Riza sudah memperhatikan model tulisan, pakaian, dan yang terakhir tanda tangan saya. Hasilnya:
  • Tulisan : Ya itu tadi, perfeksionis. Pintar. Visi ke depan bagus.
  • Pakaian : Tetep, Perfeksionis. Dilihat dari warna yang selalu senada dan aksesoris yang saya pakai (dan dia ingat pakaian yang kupakai sekitar 4 minggu yang lalu. OMG!)
  • Tanda tangan : masih terbayang-bayang masa lalu. Ragu untuk melangkah.
Dan saya yakin, kalau Mbak Riza masih menyimpan segudang tentang diri saya. Tapi dia berusaha memilih dan memilah mana yang ‘patut’ saya dengar (bagi pembaca, untuk poin ketiga part pertama di atas, saya butuh masukan, terimakasih)
Sebenarnya, dari uji coba Test Psikologi freely ini, pokok bahasan yang teriang-iang di benakku sampai di kelas kuliah sore adalah: Perfeksionis. Salah cirri perfeksionis adalah sifat ‘kepikiran’ akan sesuatu hal yang gak beres. Kepikirannya bisa berlangsung lama. Lha ini wes, kebukti sodara-sodara!
“Hmmmh..namanya juga watak. Kalo watuk, ya ada obatnya dan bisa sembuh”, celetuk Mbak Riza memecah hawa tegang ketika saya berkonsultasi tentang penanganan perfeksionis.
“Butuh suatu kejadian untuk bisa menyadarkan si-perfeksionis”, lanjutnya lagi.
Let it flow!  Itu cara yang mudah untuk meredamnya”,
“Di dunia ini, kita cuma ‘minjem’ badan. Ati-ati kalo diforsir terus-terusan, gak baik. Bakal Capek sendiri, lho. Dan otak bakal susah untuk istirahat”,
“ Si perfect suka melihat hal yang detail. Detail banget!”,
…..dan ratusan kata-kata ‘bak panjangnya kereta api terucap dari mulut Mbak Riza. Kata-kata ini rasanya langsung ditujukan kepada saya, menembak jantung saya, masuk ke pembuluh darah, sampai diangkut ke otak! Pas Mantap! Kata-katanya terdengar tegas, lantang, dan memang itulah hasil dari penelitian ribuan ahli psikologis beberapa abad yang lalu.

INSIDE
Lingkungan keluarga saya memang benar-benar terencana mengikuti aturan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dua anak cukup. Kalo mau jadi A musti ngelakuin B. Kalo mau jadi guru, ya musti belajar giat. Bagai proposal kehidupan yang sudah di ACC Tuhan. Saklek. Lurus. Terborderisasi.

Alhamdulillah, pendidikan TK sampai SMA –dan kini bangku kuliah-, bisa saya rasakan dengan sejuta cerita. Perjalanannya cukup LURUS bila dibandingkan dengan kehidupan mereka di jalanan yang tidak sempat menikmati bangku sekolah bahkan putus sekolah (bersyukurah, Sil!)

Masalah sosial, dari kecil memang saya sering diajak untuk mendatangi undangan-undangan di acar pertemuan teman-teman ayah atau ibu. Bisa dibilang, untuk saat ini saya tidak ada  masalah dalam menjalin dan mempertahankan komunikasi dengan komunitas baru. Yang kurang –bahkan tidak- saya dapatkan adalah pengalaman berkomunikasi dengan orang-orang yang kurang beruntung. Hidup dengan kondisi –terutama ekonomi dan fisik- yang jauh di bawah saya. Model ‘kehidupan Terborderisasi’ mungkin membuat orang tua saya memilih untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh dalam kehidupan. Namun semenjak bergabung dengan YEPE, malah saya sering melakukan hal yang dianggap aneh di mata keluarga. 

YEPE adalah Tim Pendaki Gunung dan Penjelajah Alam. Singkatnya, orang bilang Pecinta Alam (PA). Tapi, bagi saya, YEPE lebih dari sebuah Pecinta Alam. Lebih dari sekedar Organisasi. Tapi ini Keluarga!
Latihan urip soro di alam telah membuka mata saya, bahwa hidup tidak selalu ada di zona nyaman! Adakalanya manusia diuji musibah oleh Tuhan. Bahkan kenyamanan pun merupakan suatu musibah jika manusia tidak bisa memanage dengan baik. Berkegiatan dengan keluarga YEPE adalah pengalaman baru yang belum pernah terdaftar dalam list kegiatan hidup saya yang sudah-sudah.

?
So??? Tidak perlu banyak Tanya lagi, bersyukuuuuuuuuuuuuuuuuuuurlah!
?
Let it floooooooooooooooow!
!
WE SHALL OVERCOME! (with good, halal and ‘health’ way)

[silky.23012011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar